Prahara PILKADA
Prahara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), menjadi topik hangat dalam
setiap pemberitaan maupun perbincangan dimedia. Hal ini menyusul dengan
pembahasan RUU Pilkada yang didalamnya terkandung tentang aturan pemilihan
kepala daerah akan dipilih oleh para anggota dewan. Ini berarti para kepala
daerah tidak lagi dipilih oleh masyarakat secara langsung, sebagaimana yang
telah dilaksanakan dalam kurung waktu 10 tahun terakhir.
Hal inilah yang kemudian memunculkan berbagai tanggapan dari elemen
masyarakat. Mulai dari para wakil rakyat sediri, para pengamat politik, para
mantan kepala daerah hingga masyarakat akar rumput. Tanggapan yang munculpun
bermacam-macam, ada yang pro adapula yang kontra akan adanya aturan baru
tersebut.
Rancangan Undang Undang baru ini dalam hal mengatur pemilihan kepala daerah
melalui DPR didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi dilapangan selama ini,
yakni maraknya kasus money politic yang
sering kali menghiasi setiap kali dihelatnya event Pilkada. Dan untuk meminimalisirnya dirumuskanlah aturan baru
tersebut.
Pihak pro dan kontra akan aturan ini saling mengemukakan dalil-dalil yang dinilai bisa membantah
dan mendukung setiap argumen yang ada.
Yang pro dengan aturan baru ini, diantaranya menyatakan bahwa, “jika kepala daerah dipilih oleh rakyat maka,
hal ini sudah melanggar ketentuan yang terkandung dalam dasar negara indonesia.
Maka jika ingin tetap malaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung,
ganti dulu Pancasila”. “money politic bisa diminimalkan karena cost kampanye
menjadi lebih sedikit disebabkan setiap calon tidak melakukan banyak hal,
seperti deklarasi pencalongan diri, pengumpulan massa, arak-arakan dsb, yang
tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit”. Praktek demikian dinilai
menjadi pintu rentannya praktek money
politic
Sementara yang kontra tentu saja memiliki pandangan yang berbeda tentang
aturan baru ini, beberapa pendapat mengemukakan, “jika seorang kepala daerah ditunjuk oleh anggota dewan maka
dikuatirkan segala macam kebijakan yang nantinya akan dilaksanakan oleh kepala
daerah tersebut dipengaruhi oleh kepentingan sesaat para anggota dewan yang
telah memilihnya”. Sebagian yang lain berpendapat “saat kepala daerah dipilih oleh anggota dewan, justru praktek money
politic sangat terbuka untuk dilakukan bahkan costnya juga lebih besar”.
Jika kita menyimak beberapa pendapat diatas mengenai wacana pemilihan
kepala daerah oleh DPR, maka dapat kita pastikan satu hal bahwa kedua opsi
pemilihan tersebut sama sama memiliki peluang akan adanya praktek money politic sehingga solusi yang
ditawarkan tersebut tidak benar-benar dapat menyelesaikan problem yang ada,
dengan pengharapan sebelumnya bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPR bisa lebih
baik ketimbang dipilih oleh rakyat.
Syarat akan kepentingan sesaat
Dari beberapa kali pelaksanaan PILKADA di beberapa daerah, selalu ditemukan
hal-hal yang mengganjal seperti masalah pendanaan, dimana kemudian para calon
mendapatkan dana untuk pelaksanaan kampanye yang notabene membutuhkan dana yang
cukup besar.
Salah satu sumber pendanaan sudah pasti dari para kapitalis, para pengusaha
yang memiliki modal besar untuk mendanai salah satu calon dari partai politik. Para
pengusaha sudah pasti tidak akan mengeluarkan dana besar jika tidak terdapat
manfaat yang bisa mereka dapatkan dari investasi
untuk pendanaan tersebut.
Sudah bisa dipastikan mereka juga menginginkan “sesuatu” dari situ,
misalnya pemerintah daerah akan membuat suatu kebijakan yang menguntungkan bagi
diriya kelak dikemudian hari, memberikan kesempatan kepada para pengusaha untuk
mengembangkan usahanya di daerah calon yang terpilih, ini hal hal yang bisa
saja terjadi.
Meskipun, ada juga para anggota dewan menyangkal hal tersebut dan
mengatakan “para pengusaha saat ini yang
turut mendanai sala satu calon dalam pilkada, tidak semata-mata melihat menfaat
apa yang dapat mereka dapatkan tetapi mereka hanya menginginkan satu hal yakni
kemajuan dari segi ekonomi, kesejahteraan bagi para masyrakat di setiap daerah”.
Tapi tentu saja tidak ada yang bisa menjamin para kapitalis bisa bersikap
demikian, dan fakta akan hal ini juga patut dipertanyakan kebenarannya.
Bagaimana dengan para anggota dewan, setali
tiga uang orang yang duduk di parlemenpun tidak bebas dari intervensi para
pengusaha, dengan iming-iming sejumlah uang kebijakanpun bisa diputar dan
diplintir kemana saja sesuai dengan pesanan, faktanya kita bisa lihat sendiri
di media melalui pemberitaan yang lalu, ataupun kita bisa menunggu kedepan akan
kasus kasus yang terjadi dengan melibatkan para anggota dewan wakil rakyat
terhormat.
Dengan ini, kita bisa melihat bahwasanya dalam pelaksanaanya PILKADA tidak
selalu sama dengan yang inginkan, yang kita lihat dengan kepala daerah yang
berhasil memajukan daerahnya hanya sebagian kecil saja, namun respon masyakarat
sudah mensyukuri akan hal itu, tetapi bagaimana dengan sebagian besar lainnya
apakah kita akan tenang dan ikhlas saja melihat bahwa semua praktek yang
terjadi syarat akan kepentingan sesaat dan hanya segelintir orang saja.
Dan mari kita pertanyakan, hasil PILKADA nantinya apakah murni pilihan
rakyat atau DPR yang saat ini masih dalam proses perumusan RUU, ataukah justru
bukan pilihan dari keduanya yakni para Kapitalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar