Senin, 22 September 2014

Pilkada Pilihan Rakyat atau DPR atau Kapitalis

Prahara PILKADA

Prahara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), menjadi topik hangat dalam setiap pemberitaan maupun perbincangan dimedia. Hal ini menyusul dengan pembahasan RUU Pilkada yang didalamnya terkandung tentang aturan pemilihan kepala daerah akan dipilih oleh para anggota dewan. Ini berarti para kepala daerah tidak lagi dipilih oleh masyarakat secara langsung, sebagaimana yang telah dilaksanakan dalam kurung waktu 10 tahun terakhir.



Hal inilah yang kemudian memunculkan berbagai tanggapan dari elemen masyarakat. Mulai dari para wakil rakyat sediri, para pengamat politik, para mantan kepala daerah hingga masyarakat akar rumput. Tanggapan yang munculpun bermacam-macam, ada yang pro adapula yang kontra akan adanya aturan baru tersebut.

Rancangan Undang Undang baru ini dalam hal mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPR didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi dilapangan selama ini, yakni maraknya kasus money politic yang sering kali menghiasi setiap kali dihelatnya event Pilkada. Dan untuk meminimalisirnya dirumuskanlah aturan baru tersebut.

Pihak pro dan kontra akan aturan ini saling mengemukakan dalil-dalil yang dinilai bisa membantah dan mendukung setiap argumen yang ada.

Yang pro dengan aturan baru ini, diantaranya menyatakan bahwa, “jika kepala daerah dipilih oleh rakyat maka, hal ini sudah melanggar ketentuan yang terkandung dalam dasar negara indonesia. Maka jika ingin tetap malaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, ganti dulu Pancasila”. “money politic bisa diminimalkan karena cost kampanye menjadi lebih sedikit disebabkan setiap calon tidak melakukan banyak hal, seperti deklarasi pencalongan diri, pengumpulan massa, arak-arakan dsb, yang tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit”. Praktek demikian dinilai menjadi pintu rentannya praktek money politic

Sementara yang kontra tentu saja memiliki pandangan yang berbeda tentang aturan baru ini, beberapa pendapat mengemukakan, “jika seorang kepala daerah ditunjuk oleh anggota dewan maka dikuatirkan segala macam kebijakan yang nantinya akan dilaksanakan oleh kepala daerah tersebut dipengaruhi oleh kepentingan sesaat para anggota dewan yang telah memilihnya”. Sebagian yang lain berpendapat “saat kepala daerah dipilih oleh anggota dewan, justru praktek money politic sangat terbuka untuk dilakukan bahkan costnya juga lebih besar”.

Jika kita menyimak beberapa pendapat diatas mengenai wacana pemilihan kepala daerah oleh DPR, maka dapat kita pastikan satu hal bahwa kedua opsi pemilihan tersebut sama sama memiliki peluang akan adanya praktek money politic sehingga solusi yang ditawarkan tersebut tidak benar-benar dapat menyelesaikan problem yang ada, dengan pengharapan sebelumnya bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPR bisa lebih baik ketimbang dipilih oleh rakyat.

Syarat akan kepentingan sesaat

Dari beberapa kali pelaksanaan PILKADA di beberapa daerah, selalu ditemukan hal-hal yang mengganjal seperti masalah pendanaan, dimana kemudian para calon mendapatkan dana untuk pelaksanaan kampanye yang notabene membutuhkan dana yang cukup besar.

Salah satu sumber pendanaan sudah pasti dari para kapitalis, para pengusaha yang memiliki modal besar untuk mendanai salah satu calon dari partai politik. Para pengusaha sudah pasti tidak akan mengeluarkan dana besar jika tidak terdapat manfaat yang bisa mereka dapatkan dari investasi untuk pendanaan tersebut.

Sudah bisa dipastikan mereka juga menginginkan “sesuatu” dari situ, misalnya pemerintah daerah akan membuat suatu kebijakan yang menguntungkan bagi diriya kelak dikemudian hari, memberikan kesempatan kepada para pengusaha untuk mengembangkan usahanya di daerah calon yang terpilih, ini hal hal yang bisa saja terjadi.

Meskipun, ada juga para anggota dewan menyangkal hal tersebut dan mengatakan “para pengusaha saat ini yang turut mendanai sala satu calon dalam pilkada, tidak semata-mata melihat menfaat apa yang dapat mereka dapatkan tetapi mereka hanya menginginkan satu hal yakni kemajuan dari segi ekonomi, kesejahteraan bagi para masyrakat di setiap daerah”. Tapi tentu saja tidak ada yang bisa menjamin para kapitalis bisa bersikap demikian, dan fakta akan hal ini juga patut dipertanyakan kebenarannya.

Bagaimana dengan para anggota dewan, setali tiga uang orang yang duduk di parlemenpun tidak bebas dari intervensi para pengusaha, dengan iming-iming sejumlah uang kebijakanpun bisa diputar dan diplintir kemana saja sesuai dengan pesanan, faktanya kita bisa lihat sendiri di media melalui pemberitaan yang lalu, ataupun kita bisa menunggu kedepan akan kasus kasus yang terjadi dengan melibatkan para anggota dewan wakil rakyat terhormat.

Dengan ini, kita bisa melihat bahwasanya dalam pelaksanaanya PILKADA tidak selalu sama dengan yang inginkan, yang kita lihat dengan kepala daerah yang berhasil memajukan daerahnya hanya sebagian kecil saja, namun respon masyakarat sudah mensyukuri akan hal itu, tetapi bagaimana dengan sebagian besar lainnya apakah kita akan tenang dan ikhlas saja melihat bahwa semua praktek yang terjadi syarat akan kepentingan sesaat dan hanya segelintir orang saja.

Dan mari kita pertanyakan, hasil PILKADA nantinya apakah murni pilihan rakyat atau DPR yang saat ini masih dalam proses perumusan RUU, ataukah justru bukan pilihan dari keduanya yakni para Kapitalis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar